kematian dan pajak.
Pepatah ini mungkin berlebihan. Tapi coba lihat kenyataannya. pajak menghadang di seluruh gerak langkah kita. Beli barang ada pajaknya, makan di warung kena pajak, rumah ada pajaknya, upah hasil kita memeras keringat pun harus dipajaki. Wajar jika sebagian besar kita gerah terhadap pajak. Apalagi ketika penggunaan hasil pajaknya tak kita rasakan manfaatnya.
Tujuan pajak antara lain untuk penyediaan fasilitas umum dan kesejahteraan masyarakat. Ironisnya, besarnya pungutan pajak, ternyata tak berpengaruh apapun terhadap kehidupan masyarakat. Penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan. Namun, ironisnya kondisi jalan, transportasi dan fasilitas umum tetap rusak terbengkalai, fakir miskin pun bukannya semakin berkurang bahkan semakin bertambah. Dengan kondisi demikian, wajar apabila kesadaran pajak masyarakat Indoensia sangat rendah. Indikasinya adalah tax ratio yang hanya 13,6% dari PDB, dibawah rata-rata tax ratio negara-negara Eropa dan Amerika yaitu 33%. Karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara (78% APBN berasal dari pajak) tak heran jika pemerintah terus-menerus melakukan usaha memperbesar perolehan pajak. Meskipun terus meningkat, usaha tersebut belum sepenuhnya berhasil. Majalah Berita Pajak edisi April 2003 menunjukkan baru 2,3 juta penduduk dari 210 juta potensi yang terdaftar sebagai obyek pajak.
Banyak penyebab mengapa masyarakat ”alergi” pajak. Selain karena alasan di atas, sebagian umat Islam enggan membayar pajak karena adanya kewajiban ganda: zakat dan pajak. Di Indonesia, seorang muzaki (wajib zakat) adalah juga wajib pajak. Atas dasar ini tentu saja umat Islam lebih rela membayar zakat dari pada pajak. Meskipun zakat itu masih ditunaikan secara tradisional, dibayarkan langsung kepada penerima, sehingga dampak pemberdayaannya juga belum terasa.
Islam mengakui bahwa pajak merupakan kewajiban setiap warga negara. Sebagai warga negara, seorang muslim wajib taat kepada pemerintah (ulil amri). Hanya memang perlu dikaji apakah pajak yang diterapkan sekarang telah sesuai dengan ketentuan pajak secara syariah. Abu Yusuf (798M) dalam kitab Al Kharaj mengusulkan pajak atas tanah pertanian diganti dengan zakat pertanian, sehingga perhitungannya tidak berdasarkan harga tanahnya tetapi dikaitkan dengan jumlah hasil panennya. Pajak perniagaan digantikan dengan sistem zakat perniagaan.
Dualisme kewajiban pajak dan zakat tersebut telah dikompromikan dengan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, dengan mengakui zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Sayangnya, karena zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban pajak masih relatif kecil. Sehingga regulasi tersebut belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak maupun zakat. Lain halnya jika pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak, hilangnya kewajiban ganda itu tentu sangat melegakan umat Islam.
Oleh karena itu, akhir-akhir ini berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 dan revisi UU No. 17 tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak (tax deductable). Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar. Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Di Malaysia pun zakat yang dibayarkan telah diakui sebagai pengurang pajak. Dengan insentif itu, para muzaki akan berlomba-lomba membayarkan zakatnya kepada lembaga (Amil), dan dari database tersebut upaya ekstensifikasi wajib pajak akan dapat dilakukan dengan mudah. Upaya ini disertai dengan sosialisasi tentang wajibnya menunaikan pajak oleh umat Islam, akan mendorong peningkatan realisasi zakat dan pajak.
Ada kekhawatiran pada sebagian kalangan, bahwa apabila zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Kekhawatiran tersebut tidaklah beralasan. Penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak khususnya PPh Pasal 21 karena perbedaan tarif pajak yang 30% dengan tarif zakat yang relatif sangat rendah yaitu 2.5% dari penghasilan. Selain itu, berdasarkan perhitungan perkiraan setoran penerimaan pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21) nasional sebesar Rp. 25 triliun (dari perkiraan total penghasilan karyawan nasional sebesar Rp. 125 triliun - tarif efektif 20%) maka perkiraan setoran zakat (2.5% dari Rp. 125 triliun) hanya Rp. 3.2 trilun. Fakta empiris membantah kekhawatiran tersebut. Prof Didin Hafidhuddin menunjukkan data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat.
Beranikah kita mencontohnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar