"Kita hari ini adalah hasil dari pikiran, perasaan dan persepsi kita masa lalu"
itulah salah satu pesan hukum ketertarikan (Law of Attraction) yang sedang naik daun.
Hukum yang dipopulerkan kembali lewat buku the Secret oleh Rhonda Byrne itu, pada intinya mengingatkan bahwa alam semesta menjadi semacam cermin yang memantulkan apapun getaran pikiran dan perasaan yang kita kirimkan ke alam semesta. Jika pikiran dan perasaan kita berkelimpahan, maka getaran berkelimpahan akan ditangkap oleh alam semesta dan dikembalikan kepada si pengirim dalam bentuk kelimpahan juga. Bagi sebagian orang hukum ketertarikan memang dikhawatirkan nyerempet ke kufur karena seolah-olah diri sendiri dan alam semesta yang menentukan nasib, bukan Allah. Bagi saya yang awam, law of attraction sebagaimana hukum gravitasi adalah sunnatullah, artinya hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta sebagaimana Allah memberikan hukum-hukum kepada manusia seperti yang tercantum dalam Al Qur’an dan sunnah nabi. Dan karena ketaatan alam kepada Allahlah, maka alam semesta seolah-olah yang berperan dalam berlakunya hukum ketertarikan.
Hal yang sama dapat dianalogkan untuk bangsa Indonesia. Maksudnya, bangsa Indonesia saat ini adalah kumpulan dari pikiran, perasaan dan persepsi dari 200 juta penduduknya masa lalu. Benarkah? Selama ini bangsa Indonesia mengidap perasaan minder, bodoh, malas dan sifat-sifat negatif lainnya. Sifat negatif itu awalnya tidak benar, karena pada saat itu justru Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, gotong royong dan berbudaya tinggi. Tapi berkat cap yang disematkan berabad-abad lalu oleh kaum penjajah, akhirnya cap itu menjadi afirmasi yang efektif yang mengubah budaya asli bangsa Indonesia, sehingga jadilah sebagian besar kita merasa minder, bodoh dan memang sudah nasibnya untuk selalu kalah. Parahnya lagi, perasaan negatif itu diwariskan turun temurun sampai sekarang. Memang ada sebagian orang yang berhasil mendobrak stigma tersebut dan berhasil menjadi pemenang dalam kehidupan. Tetapi mayoritas, 60 juta jiwa yang sekarang tergolong kategori miskin (menurut data BPS) masih terjebak pada pikiran, perasaan dan persepsi negatif itu.
Kemiskinan membuat masyarakat tidak mampu membeli kebutuhan pokoknya. Juga, tidak mampu membayar sekolah, ongkos berobat, bertempat tinggal layak dan sebagainya. Perasaan tidak mampu, selalu kekurangan, tak berdaya, bernasib malang yang mendera puluhan juta orang telah menghasilkan gelombang energi negatif yang luar biasa besar. Tak heran jika masyarakat menjadi mudah marah, cepat tersinggung, dan kekerasan begitu mudah meletup. Tak hanya itu. Kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada mereka membuat perasaan diperlakukan tidak adil, dikecewakan semakin menambah negatif pikiran dan perasaan mereka. Kalau difoto aura, jangan-jangan bumi Indonesia terlihat merah membara. Ironisnya, gelombang energi negatif itu justru menarik kekurangan, kelemahan, kemalangan lebih banyak lagi. Bagai lingkaran tak berujung, siklus itu berputar terus bertahun-tahun. Membuat Indonesia terpuruk semakin dalam, dan semakin dalam........ (wah perasaan saya jadi sangat negatif saat menulis kalimat ini)
Kenaikan BBM membuat kondisi yang sudah negatif ini menjadi negatif kuadrat. Beratnya beban hidup akibat kenaikan harga memang hampir tak tertahankan.Tapi yang lebih parah, kenaikan BBM tersebut membuat perasaan tersakiti, diabaikan, kehilangan kepercayaan, pesimis, frustasi yang membuat lingkaran kemiskinan dan kesusahan berputar semakin cepat ke bawah.
Bisakah mengubahnya? Dengan logika yang sama, membangkitkan Indonesia adalah dengan menciptakan perasaan bahagia, berkecukupan, dihargai, disayangi, dibela, dilindungi, optimis dan perasaan positif lainnya. Juga dengan menghapus persepsi lama tentang sifat-sifat negatif masyarakat yang selama ini tertanam. Sebaliknya terus tumbuhkan pikiran dan persepsi bahwa penduduk Indonesia pintar, rajin, jujur, toleransi dan sebagainya. Membangkitkan pikiran dan perasaan positif berarti mendorong gelombang energi positif di alam semesta untuk menarik kesejahteraan, kedamaian dan kemakmuran bangsa.
Jadi, bagi penentu kebijakan negeri ini, hati-hati dengan keputusan anda. Pertimbangkan perasaan dan pikiran mayoritas masyarakat. Kebijakan anda menentukan gelombang apa yang akan digetarkan ke alam semesta. Membuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat akan menumbuhkan kebahagiaan yang sangat berarti untuk memutus lingkaran penderitaan dan menggantinya dengan lingkaran kebangkitan. Masyarakat tidak mau tahu pertimbangan apa dibalik sebuah keputusan. Tapi mereka bisa tahu dan merasakan apakah mereka pemilik negeri ini yang sesungguhnya dibela atau diabaikan.
Bahayanya lagi, perasaan diabaikan itu juga melahirkan persepsi bahwa para pejabat mementingkan dirinya sendiri, korup, tidak adil, sewenang-wenang dan segala stigma negatif lainnya. Bayangkan, ketika lebih dari enam puluh juta rakyat mempunyai persepsi negatif itu, bukankah gelombangnya menjadi semacam perintah kepada alam semesta untuk menjadikan para pemimpin kita berkarakter begitu? Maka terciptalah lingkaran negatif lainnya di seputar pemimpin bangsa.
Dalam hadist Qudsi, Allah mengungkapkan sebuah rahasia: Aku sesuai prasangka hambaKu. Jadi kalau prasangka seluruh rakyatnya mengatakan Indonesia adalah bangsa rajin, cerdas, beradab, tertib, adil dan makmur, bukan hal yang mustahil jika Allah mengabulkannya
Oleh karena itu...
Jika anda sependapat dengan saya, mari tebarkan energi, pikiran, perasaan, persepsi positif di lingkungan keluarga, tempat kerja dan masyarakat sekitar. Para pemimpin, ulama, tokoh masyarakat, media massa, terus gemakan semangat optimis rakyat melalui teladan tindakan positif yang nyata.
1 komentar:
semoga setiap hari makin bertambah orang yang bahagia dan enrginya positif
Posting Komentar