Ketika melihat jalan hidup kakak-kakak dan adik-adik saya, barulah saya tersadar. Kehidupan mereka juga begitu baiknya. Berkecukupan dengan anak-anak cerdas yang menyenangkan, itulah potret bahagia keluarga mereka. Padahal usaha mereka berbeda-beda. Berarti, ada satu faktor penentu yang menjadi benang merah keberuntungan keluarga kami. Dialah, Bapak dan Ibu kami.
Bapak kami, pegawai kantor departemen agama kabupaten, yang kemudian menjadi wakil rakyat di propinsi, telah mendedikasikan dirinya, waktu dan pikirannya untuk orang lain. Bapak dan Ibu kami selalu sibuk mengurus orang. Rumah kami tak pernah sepi dari orang. Orang-orang (sebagian besar orang-orang desa yang harus menumpang truk karena lokasinya tak dijangkau angkutan) datang mengadukan segala permasalahannya. Ada yang ingin menitipkan anak untuk sekolah di kota kami. Ada yang perlu bibit dan pupuk untuk menanam padi, butuh uang untuk melahirkan. Sebagian lain ingin membangun musholla atau madrasah di dukuhnya yang terpencil. Banyak juga yang meminjam untuk modal usaha, dan seperti saya juga (rupanya menurun ciri open mind nya menurun ke saya) Bapak sering tertipu. Meski beberapa kali menjadi korban, Bapak tetap tidak mengubah kebiasaannya.
Tamu datang silih berganti dan anak-anak yang tinggal di rumah semakin banyak. Bagi Bapak, adalah sebuah pantangan menolak permintaan mereka. Dan sudah kewajiban kami menjamu para tamu, meski dengan sederhana. Ibu selalu masak berlebih sebagai cadangan kalau ada tamu. Tanpa pernah lelah, Ibu melayani semuanya di sela waktunya mengurus toko kecil di pasar, sawah, rumah yatim, masjid, sekolah dan beberapa urusan Bapak lainnya. Hampir tak terbayangkan. Betapa beratnya Ibu mengelola penghasilan Bapak dan hasil toko yang tak seberapa itu dapat membiayai 9 anak, beberapa anak lain dan seluruh kebutuhan tersebut.
Subhanallah, rasanya kami tidak pernah kekurangan. Sekarang pun, saat Bapak sudah wafat, kebiasaan itu masih dilanjutkan. Rezeki Allah pun terus mengalir ke Ibu saya untuk diteruskan ke anakanak yatim, masjid dan urusan-urusan lain yang diinisiasi Bapak.
Saya jadi berpikir, bahwa keberuntungan saya sesungguhnya bukan hasil usaha sendiri. Apalagi selama ini saya tidak pernah merencanakan jalan hidup saya, semuanya mengalir begitu saja. Untung berkat keberuntungan hidup saya mengalir ke arah yang baik. Saya hanya mendapatkan capital gain dari investasi Bapak dan Ibu. Kepedulian, kedermawanan dan ke rja keras merekalah yang dicatat Allah untuk menggerakkan keberuntungan bagi kami, anak-anaknya. Waduh, rasanya semakin besar hutang saya kepada Bapak dan Ibu.....entah kapan saya sanggup melunasinya.
Sekali lagi, terbukti bahwa berbagi (zakat dan infak sedekah) adalah jurus andalan mencapai kebahagiaan. Tak hanya mensucikan harta dan jiwa, menambah berkah, mengembangkan harta tapi juga menumbuhkan faktor keberuntungan. Ajaibnya tak hanya faktor keberuntungan untuk si pelaku, tapi justru dapat diwariskan. Coba, adakah kiat yang lebih hebat dari ZIS ? Jadi, jika ingin meningkatkan ”luck factor” anak anda, tunaikan zakat, perbanyak infak sedekah. Mudah bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar