Itsar, diartikan dengan mendahulukan kepentingan orang lain walaupun dirinya sendiri memerlukannya. Istilah ini lazim digunakan oleh sahabat Rasulullah. Banyak kisah yang menceritakan bagaimana para sahabat mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang lain. Ibnu Umar r.a. menceritakan bahwa seorang sahabat telah menerima hadiah sebuah kepala kambing. Karena dia merasa ada tetangganya yang lebih memerlukan, dia pun lalu memberikan kepala kambingnya kepada tetangganya tersebut. Ketika tetangganya menerima pemberian itu, dia pun teringat kepada tetangga yang menurutnya lebih memerlukan lagi. Begitu seterusnya sampai kepala kambing tersebut berpindah tangan tujuh kali sebelum akhirnya kembali ke sahabat yang pertama kali menerimanya.
Kisah lain yang sangat menyentuh yaitu ketika Tsabit r.a. menjamu sahabat yang selalu berpuasa namun seringkali tidak mempunyai makanan untuk berbuka. Agar tamunya bisa berbuka dengan cukup, Tsabit menyuruh istrinya memadamkan lampu sehingga tamunya tidak mengetahui bahwa Tsabit hanya berpura-pura makan. Allah pun memuji kelakuan Tsabit. Pada waktu subuh saat Tsabit hadir di majelis Rasulullah, beliau menyampaikan berita gembira itu “ wahai Tsabit, Allah sangat senang menerima pelayananmu terhadap tamu tadi malam.”
Betapa luar biasa akhlak para sahabat. Ketenteraman Madinah tercipta karena kaum Anshar mengutamakan Muhajirin di atas kepentingan diri mereka, meskipun mereka kesusahan (QS Al Hasyr : 9).
Itsar lah yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Carut marutnya negeri ini salah satunya akibat hilangnya itsar. Semuanya untuk kepentingan diri sendiri, paling jauh untuk keluarga dan kerabatnya. Parahnya, kepentingan diri itu tidak pernah terpuaskan. Semua hal direkayasa untuk kepentingan si “AKU”. Jangankan memikirkan akibat untuk orang lain, tidak melanggar hak orang lain pun sudah untung. Bagai kanker, penyakit AKU telah menjalar ke seluruh sendi masyarakat. Bagai vacuum cleaner, si kaya terus menyedot asset di sekitarnya tanpa henti. Si miskin yang hidup dalam tekanan melampiaskan keakuannya dengan kemarahan membara yang setiap saat siap menghanguskan semua. Jangan-jangan gempa yang bertubi-tubi mendera, merupakan ekspresi ke”aku”an alam yang unjuk kekuatan karena tidak ingin disepelekan manusia.
Dalam kondisi ini mengharapkan itsar, bagaikan menggantang asap. Tapi jangan putus asa. Islam telah memberi solusi bagi merajalelanya penyakit egois itu. Zakat, infak, shadaqah dan wakaf adalah sarana berlatih mencapai itsar. Menunaikan zakat, berarti mulai sedikit memikirkan orang lain. Memperbanyak infak, sadaqah dan wakaf akan menumbuhkan kasih sayang kepada orang lain. Jika hal ini banyak dilakukan, insya Allah ke”aku”an kita akan terpuaskan, cukup dengan melihat kepentingan orang lain terpuaskan oleh kita. Dan bukankan kepuasan yang hakiki adalah Ridho Nya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar