Dzulhijjah menjelang.
Selain Haji, moment dramatis di bulan ini adalah Idul Adha atau Idul Qurban. Adha berarti kurban, karena pada hari itu umat Islam merayakannya dengan menyembelih hewan kurban. Idul Adha mempunyai arti khusus bagi umat Islam. Hari itu mengingatkan pada momen paling dramatis, yaitu kisah pengorbanan nabi agung Ibrahim as dan Ismail as. Kisah yang sangat luar biasa ini sampai diabadikan Allah dalam QS As Shaffat : 11.
Bayangkan, seorang ayah harus menyembelih anak yang sangat diharapkannya selama berpuluh-puluh tahun demi pengabdian dan kecintaannya kepada sang Kekasih. Bayangkan pula keikhlasan sang anak untuk tunduk dan pasrah menyerahkan nyawanya demi sang Kekasih yang sama. Bagi kita, kehilangan orang yang kita cintai sangatlah berat, bahkan banyak yang tidak mampu menanggungnya. Adakah pengorbanan demi cinta yang sehebat ini? Motivasi apakah yang menggerakkan keikhlasan dan ketaatan ini selain karena keyakinan bahwa Sang Kekasih tak akan menyia-nyiakan persembahan mereka? Allah, sang Kekasih, pun menerima bukti persembahan cinta yang agung ini dan mengabadikannya. Selama berabad-abad, kisah ini telah menyedot ratusan juta manusia berbondong-bondong ke Makkah Al-Mukarramah, tempat kekuatan cinta dan iman itu didemonstrasikan.
Ibrahim dan Ismail telah membuktikan kualitas imannya kepada Allah. Ketika berikrar bahwa “sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah,” beliau sadar bahwa segala yang dimilikinya termasuk anak & nyawa adalah milik Allah. Maka, beliau rela mengembalikan saat Sang Pemilik memintanya. Bagaimana dengan kita? Meskipun mengucapkan ikrar yang sama lima kali sehari, rasanya tak pernah benar-benar ikhlas hati ini untuk menyerahkan “milik” kita untuk kepentingan Allah. Jangankan nyawa, melepaskan keasyikan menonton TV untuk mendatangi panggilanNya pun berat.
Melepaskan “kepemilikan” memang ujian yang maha berat. Contoh sederhana, kita sibuk mencari-cari uang receh ketika kotak infak di masjid melintas. Juga saat memberi kepada pengemis, seakan-akan dia tidak mau menerima kalau kita beri uang seratus ribuan. Kita mengharapkan Allah mencintai dan memberikan surga sementara kita sama sekali tidak memperjuangkannya. Bagaimana mungkin Allah mencintai kita jika berkurban yang sederhana saja tidak mampu? Namun jangan pesimis, meski receh, perbuatan itu masih lebih baik. Paling tidak, harus dijaga agar “sense of belonging” kita tidak terlalu terlalu tinggi sehingga milik orang lain pun ingin diambil dan dikuasai.
Kejayaan adalah buah dari pengorbanan. Islam berjaya berkat perjuangan, pengorbanan dan semangat mempersembahkan qurban yang terbaik dari Rasulullah dan para sahabat. Indonesia merdeka juga berkat pengorbanan para pahlawan dan umat Islam. Di masa kini pun sebagian besar rakyat telah berkorban. Jutaan anak mengorbankan masa belajar dan bermainnya yang indah untuk mencari sesuap nasi membantu orang tuanya. Jutaan wanita muda berkorban meninggalkan keluarganya untuk mengais rezeki di negeri orang. Sayangnya sebagian lain justru semakin mendewa-dewakan kepentingannya, mengagung-agungkan egonya. Bahkan seringkali mengatasnamakan umat dan Allah. Wajar jika kita masih terpuruk.
Semoga tahun ini kita bisa mempersembahkan kurban yang terbaik. Tak sekedar sapi atau kambing yang lebih gemuk, tapi juga niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Agar kita semakin cinta kepadaNya, semakin merasa menjadi kekasihNya. Sehingga DIA pun mencintai dan memberkahi negeri kita, sebagaimana DIA memberkahi tanah suci tempat berqurbannya keluarga Ibrahim as.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar