Suatu pagi di hari Minggu, rumah saya kedatangan seorang pedagang penjual kue. Pakaiannya sangat sederhana, sehingga mudah menimbulkan iba. Saya bergegas membeli dagangan ibu itu, dengan harapan segera terbebas dari pandangan mengibakan di depan mata.
Hampir setiap minggu atau hari libur, si ibu tersebut lewat di depan rumah, dan menawarkan dagangannya. Hingga pada suatu hari, sembari menawarkan dagangannya, si ibu bercerita bahwa di suatu petang, di depan rumahnya, tiba-tiba sudah tergeletak sekotak pakaian yang bagus, rapi dan bersih.
Saya bersyukur bahwa akhirnya si ibu bisa memiliki pakaian yang bagus dan baik. Sempat tercetus di pikiran saya bahwa si ibu sangat senang dengan kiriman tak terduga tersebut. Namun belum sempat saya berkomentar, si ibu sudah berujar. “Namun saya sungguh berbahagia, sudah menemukan keluarga yang paling pantas menerima pakaian tersebut.”
Saya tersentak, si ibu memiliki hati yang luar biasa. Seorang pedagang yang sehari-hari berpakaian lusuh ala kadarnya, ternyata memiliki hati yang mulia.. Ibu tua si pedagang, tak memiliki materi, malah baru saja mendapat materi yang selama ini tak dimilikinya. Namun dengan keberlimpahan hatinya, menyerahkan barang berharga tersebut pada orang lain yang lebih membutuhkan.
Masalah memberi bukan terletak pada apakah kita punya keberlimpahan materi atau tidak.Tapi apakah kita punya keberlimpahan hati untuk tetap memberi, apapun juga itu. Sayyidina Ali sekeluarga pernah memberikan roti makanan untuk berbuka puasanya –semuanya- pada peminta-minta yang lewat di depan rumahnya. Ini berlangsung berturut-turut selama tiga hari.
Memberi tak selalu harus berarti keberlimpahan. Keberlimpahan hatilah yang menentukan. Dan memberi pun tak berarti selalu materi. Hanya hati yang berlimpahlah yang dengan gembira bersedia membukakan pintu bagi teman yang tergopoh-gopoh ingin masuk.
Islam mengajarkan bahwa cara termudah dan termurah mengalirkan keberlimpahan kita dengan tersenyum. Jika hari ini Anda belum memberikan keberlimpahan itu pada dunia, mulainya dengan tersenyum.
Cobalah
Selasa, 10 Juni 2008
Itsar
Itsar, diartikan dengan mendahulukan kepentingan orang lain walaupun dirinya sendiri memerlukannya. Istilah ini lazim digunakan oleh sahabat Rasulullah. Banyak kisah yang menceritakan bagaimana para sahabat mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang lain. Ibnu Umar r.a. menceritakan bahwa seorang sahabat telah menerima hadiah sebuah kepala kambing. Karena dia merasa ada tetangganya yang lebih memerlukan, dia pun lalu memberikan kepala kambingnya kepada tetangganya tersebut. Ketika tetangganya menerima pemberian itu, dia pun teringat kepada tetangga yang menurutnya lebih memerlukan lagi. Begitu seterusnya sampai kepala kambing tersebut berpindah tangan tujuh kali sebelum akhirnya kembali ke sahabat yang pertama kali menerimanya.
Kisah lain yang sangat menyentuh yaitu ketika Tsabit r.a. menjamu sahabat yang selalu berpuasa namun seringkali tidak mempunyai makanan untuk berbuka. Agar tamunya bisa berbuka dengan cukup, Tsabit menyuruh istrinya memadamkan lampu sehingga tamunya tidak mengetahui bahwa Tsabit hanya berpura-pura makan. Allah pun memuji kelakuan Tsabit. Pada waktu subuh saat Tsabit hadir di majelis Rasulullah, beliau menyampaikan berita gembira itu “ wahai Tsabit, Allah sangat senang menerima pelayananmu terhadap tamu tadi malam.”
Betapa luar biasa akhlak para sahabat. Ketenteraman Madinah tercipta karena kaum Anshar mengutamakan Muhajirin di atas kepentingan diri mereka, meskipun mereka kesusahan (QS Al Hasyr : 9).
Itsar lah yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Carut marutnya negeri ini salah satunya akibat hilangnya itsar. Semuanya untuk kepentingan diri sendiri, paling jauh untuk keluarga dan kerabatnya. Parahnya, kepentingan diri itu tidak pernah terpuaskan. Semua hal direkayasa untuk kepentingan si “AKU”. Jangankan memikirkan akibat untuk orang lain, tidak melanggar hak orang lain pun sudah untung. Bagai kanker, penyakit AKU telah menjalar ke seluruh sendi masyarakat. Bagai vacuum cleaner, si kaya terus menyedot asset di sekitarnya tanpa henti. Si miskin yang hidup dalam tekanan melampiaskan keakuannya dengan kemarahan membara yang setiap saat siap menghanguskan semua. Jangan-jangan gempa yang bertubi-tubi mendera, merupakan ekspresi ke”aku”an alam yang unjuk kekuatan karena tidak ingin disepelekan manusia.
Dalam kondisi ini mengharapkan itsar, bagaikan menggantang asap. Tapi jangan putus asa. Islam telah memberi solusi bagi merajalelanya penyakit egois itu. Zakat, infak, shadaqah dan wakaf adalah sarana berlatih mencapai itsar. Menunaikan zakat, berarti mulai sedikit memikirkan orang lain. Memperbanyak infak, sadaqah dan wakaf akan menumbuhkan kasih sayang kepada orang lain. Jika hal ini banyak dilakukan, insya Allah ke”aku”an kita akan terpuaskan, cukup dengan melihat kepentingan orang lain terpuaskan oleh kita. Dan bukankan kepuasan yang hakiki adalah Ridho Nya?
Kisah lain yang sangat menyentuh yaitu ketika Tsabit r.a. menjamu sahabat yang selalu berpuasa namun seringkali tidak mempunyai makanan untuk berbuka. Agar tamunya bisa berbuka dengan cukup, Tsabit menyuruh istrinya memadamkan lampu sehingga tamunya tidak mengetahui bahwa Tsabit hanya berpura-pura makan. Allah pun memuji kelakuan Tsabit. Pada waktu subuh saat Tsabit hadir di majelis Rasulullah, beliau menyampaikan berita gembira itu “ wahai Tsabit, Allah sangat senang menerima pelayananmu terhadap tamu tadi malam.”
Betapa luar biasa akhlak para sahabat. Ketenteraman Madinah tercipta karena kaum Anshar mengutamakan Muhajirin di atas kepentingan diri mereka, meskipun mereka kesusahan (QS Al Hasyr : 9).
Itsar lah yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Carut marutnya negeri ini salah satunya akibat hilangnya itsar. Semuanya untuk kepentingan diri sendiri, paling jauh untuk keluarga dan kerabatnya. Parahnya, kepentingan diri itu tidak pernah terpuaskan. Semua hal direkayasa untuk kepentingan si “AKU”. Jangankan memikirkan akibat untuk orang lain, tidak melanggar hak orang lain pun sudah untung. Bagai kanker, penyakit AKU telah menjalar ke seluruh sendi masyarakat. Bagai vacuum cleaner, si kaya terus menyedot asset di sekitarnya tanpa henti. Si miskin yang hidup dalam tekanan melampiaskan keakuannya dengan kemarahan membara yang setiap saat siap menghanguskan semua. Jangan-jangan gempa yang bertubi-tubi mendera, merupakan ekspresi ke”aku”an alam yang unjuk kekuatan karena tidak ingin disepelekan manusia.
Dalam kondisi ini mengharapkan itsar, bagaikan menggantang asap. Tapi jangan putus asa. Islam telah memberi solusi bagi merajalelanya penyakit egois itu. Zakat, infak, shadaqah dan wakaf adalah sarana berlatih mencapai itsar. Menunaikan zakat, berarti mulai sedikit memikirkan orang lain. Memperbanyak infak, sadaqah dan wakaf akan menumbuhkan kasih sayang kepada orang lain. Jika hal ini banyak dilakukan, insya Allah ke”aku”an kita akan terpuaskan, cukup dengan melihat kepentingan orang lain terpuaskan oleh kita. Dan bukankan kepuasan yang hakiki adalah Ridho Nya?
Senin, 09 Juni 2008
Zakat Memang Membahagiakan
Maha benar Allah, dengan segala firmanNya.
Kalimat itu sering kita ucapkan setelah membaca Al Qur’an. Begitu saja kita yakini, tanpa pernah kita pikirkan lebih lanjut, apalagi berusaha membuktikannya secara empiris. Isi Al Qur’an adalah semacam key words untuk masuk ke gudang ilmu yang tersimpan di baliknya. Setiap ayatnya mengandung rahasia ilmu yang harus dikuak lebih dalam, tidak sekedar untuk membuktikan kebenarannya, tetapi juga untuk mengetahui hikmah dan mengapa firman Allah menetapkan demikian.
Zakat itu membahagiakan, merupakan janji Allah yang disebutkan dalam QS At Taubah ayat 103. Ayat ini telah diyakini dan dirasakan kebenarannya oleh jutaan orang yang setelah mengeluarkan zakat hidupnya lebih tenteram. Baru-baru ini dilansir hasil penelitian yang membuktikan bahwa beramal (berzakat, infak dan shadaqah) ternyata merupakan jalan utama menunju kebahagiaan.
Adalah Elizabeth W Dunn, seorang profesor dari University of British Columbia, Vancouver yang membuktikannya. Hasil penelitian yang menjadi berita utama Journal Science bulan April ini mengatakan bahwa meskipun harta bertambah, level kebahagiaan justru tidak akan naik. Dunn mengadakan penelitian terhadap 632 orang Amerika dari seluruh negara bagian, yang rata-rata mempunyai gaji USD 20.000-USD 50.000. Para responden tersebut ditanya tentang jumlah pendapatan, bagaimana mereka mengeluarkan uangnya dan kebiasaan mereka beramal Dari responden tersebut diketahui bahwa kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan gaji yang mereka peroleh, tetapi mereka justru merasa bahagia saat uangnya mereka gunakan untuk beramal. Untuk lebih mencari tahu hubungan antara kebahagiaan dan beramal, Dunn melakukan penelitian lebih dalam pada 16 responden warga Boston yang menerima bonus bulanan. Ternyata hasil penelitiannya menguatkan hasil penelitian sebelumnya. ”Ada perbedaan besar antara orang yang menghabiskan bonus untuk kesenangan sendiri dengan orang yang menggunakan sebagian bonus tersebut untuk beramal,” kata Dunn. Masih belum puas, Dunn sekali lagi menguji teorinya tersebut kepada seluruh mahasiswa University of British Columbia yang mengikuti kelasnya. Mereka diberi amplop berisi uang dimana sebagian mahasiswa diminta untuk menghabiskan uang tersebut sendiri dan sebagian lainnya diinstruksikan untuk beramal. Seperti yang sudah diduga, mahasiswa yang menggunakan uangnya untuk beramal justru lebih terlihat bahagia ketimbang yang menghabiskan uangnya untuk kepentingan diri sendiri. Dunn mendapatkan gelar doktornya atas penelitiannya bahwa orang-orang yang ramah dan menawan akan mendapatkan hidup yang lebih baik dan nyaman. Akhirnya Dunn menyimpulkan bahwa materi bukanlah ukuran kebahagiaan.
"Jadi jika ingin mencerahkan hari Anda, cobalah menggunakan sebagian uang anda untuk beramal, dan lakukanlah dengan senyuman,” kata Dunn.
Kalimat itu sering kita ucapkan setelah membaca Al Qur’an. Begitu saja kita yakini, tanpa pernah kita pikirkan lebih lanjut, apalagi berusaha membuktikannya secara empiris. Isi Al Qur’an adalah semacam key words untuk masuk ke gudang ilmu yang tersimpan di baliknya. Setiap ayatnya mengandung rahasia ilmu yang harus dikuak lebih dalam, tidak sekedar untuk membuktikan kebenarannya, tetapi juga untuk mengetahui hikmah dan mengapa firman Allah menetapkan demikian.
Zakat itu membahagiakan, merupakan janji Allah yang disebutkan dalam QS At Taubah ayat 103. Ayat ini telah diyakini dan dirasakan kebenarannya oleh jutaan orang yang setelah mengeluarkan zakat hidupnya lebih tenteram. Baru-baru ini dilansir hasil penelitian yang membuktikan bahwa beramal (berzakat, infak dan shadaqah) ternyata merupakan jalan utama menunju kebahagiaan.
Adalah Elizabeth W Dunn, seorang profesor dari University of British Columbia, Vancouver yang membuktikannya. Hasil penelitian yang menjadi berita utama Journal Science bulan April ini mengatakan bahwa meskipun harta bertambah, level kebahagiaan justru tidak akan naik. Dunn mengadakan penelitian terhadap 632 orang Amerika dari seluruh negara bagian, yang rata-rata mempunyai gaji USD 20.000-USD 50.000. Para responden tersebut ditanya tentang jumlah pendapatan, bagaimana mereka mengeluarkan uangnya dan kebiasaan mereka beramal Dari responden tersebut diketahui bahwa kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan gaji yang mereka peroleh, tetapi mereka justru merasa bahagia saat uangnya mereka gunakan untuk beramal. Untuk lebih mencari tahu hubungan antara kebahagiaan dan beramal, Dunn melakukan penelitian lebih dalam pada 16 responden warga Boston yang menerima bonus bulanan. Ternyata hasil penelitiannya menguatkan hasil penelitian sebelumnya. ”Ada perbedaan besar antara orang yang menghabiskan bonus untuk kesenangan sendiri dengan orang yang menggunakan sebagian bonus tersebut untuk beramal,” kata Dunn. Masih belum puas, Dunn sekali lagi menguji teorinya tersebut kepada seluruh mahasiswa University of British Columbia yang mengikuti kelasnya. Mereka diberi amplop berisi uang dimana sebagian mahasiswa diminta untuk menghabiskan uang tersebut sendiri dan sebagian lainnya diinstruksikan untuk beramal. Seperti yang sudah diduga, mahasiswa yang menggunakan uangnya untuk beramal justru lebih terlihat bahagia ketimbang yang menghabiskan uangnya untuk kepentingan diri sendiri. Dunn mendapatkan gelar doktornya atas penelitiannya bahwa orang-orang yang ramah dan menawan akan mendapatkan hidup yang lebih baik dan nyaman. Akhirnya Dunn menyimpulkan bahwa materi bukanlah ukuran kebahagiaan.
"Jadi jika ingin mencerahkan hari Anda, cobalah menggunakan sebagian uang anda untuk beramal, dan lakukanlah dengan senyuman,” kata Dunn.
Law Of Attraction dan Kebangkitan Indonesia
"Kita hari ini adalah hasil dari pikiran, perasaan dan persepsi kita masa lalu"
itulah salah satu pesan hukum ketertarikan (Law of Attraction) yang sedang naik daun.
Hukum yang dipopulerkan kembali lewat buku the Secret oleh Rhonda Byrne itu, pada intinya mengingatkan bahwa alam semesta menjadi semacam cermin yang memantulkan apapun getaran pikiran dan perasaan yang kita kirimkan ke alam semesta. Jika pikiran dan perasaan kita berkelimpahan, maka getaran berkelimpahan akan ditangkap oleh alam semesta dan dikembalikan kepada si pengirim dalam bentuk kelimpahan juga. Bagi sebagian orang hukum ketertarikan memang dikhawatirkan nyerempet ke kufur karena seolah-olah diri sendiri dan alam semesta yang menentukan nasib, bukan Allah. Bagi saya yang awam, law of attraction sebagaimana hukum gravitasi adalah sunnatullah, artinya hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta sebagaimana Allah memberikan hukum-hukum kepada manusia seperti yang tercantum dalam Al Qur’an dan sunnah nabi. Dan karena ketaatan alam kepada Allahlah, maka alam semesta seolah-olah yang berperan dalam berlakunya hukum ketertarikan.
Hal yang sama dapat dianalogkan untuk bangsa Indonesia. Maksudnya, bangsa Indonesia saat ini adalah kumpulan dari pikiran, perasaan dan persepsi dari 200 juta penduduknya masa lalu. Benarkah? Selama ini bangsa Indonesia mengidap perasaan minder, bodoh, malas dan sifat-sifat negatif lainnya. Sifat negatif itu awalnya tidak benar, karena pada saat itu justru Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, gotong royong dan berbudaya tinggi. Tapi berkat cap yang disematkan berabad-abad lalu oleh kaum penjajah, akhirnya cap itu menjadi afirmasi yang efektif yang mengubah budaya asli bangsa Indonesia, sehingga jadilah sebagian besar kita merasa minder, bodoh dan memang sudah nasibnya untuk selalu kalah. Parahnya lagi, perasaan negatif itu diwariskan turun temurun sampai sekarang. Memang ada sebagian orang yang berhasil mendobrak stigma tersebut dan berhasil menjadi pemenang dalam kehidupan. Tetapi mayoritas, 60 juta jiwa yang sekarang tergolong kategori miskin (menurut data BPS) masih terjebak pada pikiran, perasaan dan persepsi negatif itu.
Kemiskinan membuat masyarakat tidak mampu membeli kebutuhan pokoknya. Juga, tidak mampu membayar sekolah, ongkos berobat, bertempat tinggal layak dan sebagainya. Perasaan tidak mampu, selalu kekurangan, tak berdaya, bernasib malang yang mendera puluhan juta orang telah menghasilkan gelombang energi negatif yang luar biasa besar. Tak heran jika masyarakat menjadi mudah marah, cepat tersinggung, dan kekerasan begitu mudah meletup. Tak hanya itu. Kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada mereka membuat perasaan diperlakukan tidak adil, dikecewakan semakin menambah negatif pikiran dan perasaan mereka. Kalau difoto aura, jangan-jangan bumi Indonesia terlihat merah membara. Ironisnya, gelombang energi negatif itu justru menarik kekurangan, kelemahan, kemalangan lebih banyak lagi. Bagai lingkaran tak berujung, siklus itu berputar terus bertahun-tahun. Membuat Indonesia terpuruk semakin dalam, dan semakin dalam........ (wah perasaan saya jadi sangat negatif saat menulis kalimat ini)
Kenaikan BBM membuat kondisi yang sudah negatif ini menjadi negatif kuadrat. Beratnya beban hidup akibat kenaikan harga memang hampir tak tertahankan.Tapi yang lebih parah, kenaikan BBM tersebut membuat perasaan tersakiti, diabaikan, kehilangan kepercayaan, pesimis, frustasi yang membuat lingkaran kemiskinan dan kesusahan berputar semakin cepat ke bawah.
Bisakah mengubahnya? Dengan logika yang sama, membangkitkan Indonesia adalah dengan menciptakan perasaan bahagia, berkecukupan, dihargai, disayangi, dibela, dilindungi, optimis dan perasaan positif lainnya. Juga dengan menghapus persepsi lama tentang sifat-sifat negatif masyarakat yang selama ini tertanam. Sebaliknya terus tumbuhkan pikiran dan persepsi bahwa penduduk Indonesia pintar, rajin, jujur, toleransi dan sebagainya. Membangkitkan pikiran dan perasaan positif berarti mendorong gelombang energi positif di alam semesta untuk menarik kesejahteraan, kedamaian dan kemakmuran bangsa.
Jadi, bagi penentu kebijakan negeri ini, hati-hati dengan keputusan anda. Pertimbangkan perasaan dan pikiran mayoritas masyarakat. Kebijakan anda menentukan gelombang apa yang akan digetarkan ke alam semesta. Membuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat akan menumbuhkan kebahagiaan yang sangat berarti untuk memutus lingkaran penderitaan dan menggantinya dengan lingkaran kebangkitan. Masyarakat tidak mau tahu pertimbangan apa dibalik sebuah keputusan. Tapi mereka bisa tahu dan merasakan apakah mereka pemilik negeri ini yang sesungguhnya dibela atau diabaikan.
Bahayanya lagi, perasaan diabaikan itu juga melahirkan persepsi bahwa para pejabat mementingkan dirinya sendiri, korup, tidak adil, sewenang-wenang dan segala stigma negatif lainnya. Bayangkan, ketika lebih dari enam puluh juta rakyat mempunyai persepsi negatif itu, bukankah gelombangnya menjadi semacam perintah kepada alam semesta untuk menjadikan para pemimpin kita berkarakter begitu? Maka terciptalah lingkaran negatif lainnya di seputar pemimpin bangsa.
Dalam hadist Qudsi, Allah mengungkapkan sebuah rahasia: Aku sesuai prasangka hambaKu. Jadi kalau prasangka seluruh rakyatnya mengatakan Indonesia adalah bangsa rajin, cerdas, beradab, tertib, adil dan makmur, bukan hal yang mustahil jika Allah mengabulkannya
Oleh karena itu...
Jika anda sependapat dengan saya, mari tebarkan energi, pikiran, perasaan, persepsi positif di lingkungan keluarga, tempat kerja dan masyarakat sekitar. Para pemimpin, ulama, tokoh masyarakat, media massa, terus gemakan semangat optimis rakyat melalui teladan tindakan positif yang nyata.
Siapkah Anda Berubah Seperti Elang?
Beberapa waktu lalu saya baca email menarik. Tentang elang. Katanya, elang adalah unggas yang umurnya terpanjang di dunia yaitu 70 tahun. Umur sepanjang itu adalah hasil keputusan yang harus diambilnya saat berumur 40 tahun.
Saat memasuki 40 tahun, cakar sang elang mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal,sehingga sangat menyulitkan waktu terbang. Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: menunggu kematian, atau menjalani transformasi yang sangat menyakitkan. Untuk melakukan transformasi, elang harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung dan membuat sarang ditepi jurang, serta tinggal di sana selama 150 hari.
Kemudian, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, dan berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan. Lima bulan kemudian, saat bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh, dia barulah bisa terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi!
Dalam kehidupan ini, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melenakan.Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama agar dapat mulai terbang lagimenggapai tujuan yang lebih baik di masa depan. Hanya bila bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal baru, kita akan punya kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang terpendam, mengasah keahlian baru dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.
Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendiri dan anda lah sang penguasa atas diri anda. Jangan biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melayukan semangat kita.
Karena, perubahan adalah keniscayaan. Jadi, berubahlah seperti elang! :)
Saat memasuki 40 tahun, cakar sang elang mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal,sehingga sangat menyulitkan waktu terbang. Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: menunggu kematian, atau menjalani transformasi yang sangat menyakitkan. Untuk melakukan transformasi, elang harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung dan membuat sarang ditepi jurang, serta tinggal di sana selama 150 hari.
Kemudian, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, dan berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan. Lima bulan kemudian, saat bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh, dia barulah bisa terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi!
Dalam kehidupan ini, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melenakan.Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama agar dapat mulai terbang lagimenggapai tujuan yang lebih baik di masa depan. Hanya bila bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal baru, kita akan punya kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang terpendam, mengasah keahlian baru dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.
Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendiri dan anda lah sang penguasa atas diri anda. Jangan biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melayukan semangat kita.
Karena, perubahan adalah keniscayaan. Jadi, berubahlah seperti elang! :)
Minggu, 08 Juni 2008
Luck Factor Warisan
Ketika melihat jalan hidup kakak-kakak dan adik-adik saya, barulah saya tersadar. Kehidupan mereka juga begitu baiknya. Berkecukupan dengan anak-anak cerdas yang menyenangkan, itulah potret bahagia keluarga mereka. Padahal usaha mereka berbeda-beda. Berarti, ada satu faktor penentu yang menjadi benang merah keberuntungan keluarga kami. Dialah, Bapak dan Ibu kami.
Bapak kami, pegawai kantor departemen agama kabupaten, yang kemudian menjadi wakil rakyat di propinsi, telah mendedikasikan dirinya, waktu dan pikirannya untuk orang lain. Bapak dan Ibu kami selalu sibuk mengurus orang. Rumah kami tak pernah sepi dari orang. Orang-orang (sebagian besar orang-orang desa yang harus menumpang truk karena lokasinya tak dijangkau angkutan) datang mengadukan segala permasalahannya. Ada yang ingin menitipkan anak untuk sekolah di kota kami. Ada yang perlu bibit dan pupuk untuk menanam padi, butuh uang untuk melahirkan. Sebagian lain ingin membangun musholla atau madrasah di dukuhnya yang terpencil. Banyak juga yang meminjam untuk modal usaha, dan seperti saya juga (rupanya menurun ciri open mind nya menurun ke saya) Bapak sering tertipu. Meski beberapa kali menjadi korban, Bapak tetap tidak mengubah kebiasaannya.
Tamu datang silih berganti dan anak-anak yang tinggal di rumah semakin banyak. Bagi Bapak, adalah sebuah pantangan menolak permintaan mereka. Dan sudah kewajiban kami menjamu para tamu, meski dengan sederhana. Ibu selalu masak berlebih sebagai cadangan kalau ada tamu. Tanpa pernah lelah, Ibu melayani semuanya di sela waktunya mengurus toko kecil di pasar, sawah, rumah yatim, masjid, sekolah dan beberapa urusan Bapak lainnya. Hampir tak terbayangkan. Betapa beratnya Ibu mengelola penghasilan Bapak dan hasil toko yang tak seberapa itu dapat membiayai 9 anak, beberapa anak lain dan seluruh kebutuhan tersebut.
Subhanallah, rasanya kami tidak pernah kekurangan. Sekarang pun, saat Bapak sudah wafat, kebiasaan itu masih dilanjutkan. Rezeki Allah pun terus mengalir ke Ibu saya untuk diteruskan ke anakanak yatim, masjid dan urusan-urusan lain yang diinisiasi Bapak.
Saya jadi berpikir, bahwa keberuntungan saya sesungguhnya bukan hasil usaha sendiri. Apalagi selama ini saya tidak pernah merencanakan jalan hidup saya, semuanya mengalir begitu saja. Untung berkat keberuntungan hidup saya mengalir ke arah yang baik. Saya hanya mendapatkan capital gain dari investasi Bapak dan Ibu. Kepedulian, kedermawanan dan ke rja keras merekalah yang dicatat Allah untuk menggerakkan keberuntungan bagi kami, anak-anaknya. Waduh, rasanya semakin besar hutang saya kepada Bapak dan Ibu.....entah kapan saya sanggup melunasinya.
Sekali lagi, terbukti bahwa berbagi (zakat dan infak sedekah) adalah jurus andalan mencapai kebahagiaan. Tak hanya mensucikan harta dan jiwa, menambah berkah, mengembangkan harta tapi juga menumbuhkan faktor keberuntungan. Ajaibnya tak hanya faktor keberuntungan untuk si pelaku, tapi justru dapat diwariskan. Coba, adakah kiat yang lebih hebat dari ZIS ? Jadi, jika ingin meningkatkan ”luck factor” anak anda, tunaikan zakat, perbanyak infak sedekah. Mudah bukan?
Bapak kami, pegawai kantor departemen agama kabupaten, yang kemudian menjadi wakil rakyat di propinsi, telah mendedikasikan dirinya, waktu dan pikirannya untuk orang lain. Bapak dan Ibu kami selalu sibuk mengurus orang. Rumah kami tak pernah sepi dari orang. Orang-orang (sebagian besar orang-orang desa yang harus menumpang truk karena lokasinya tak dijangkau angkutan) datang mengadukan segala permasalahannya. Ada yang ingin menitipkan anak untuk sekolah di kota kami. Ada yang perlu bibit dan pupuk untuk menanam padi, butuh uang untuk melahirkan. Sebagian lain ingin membangun musholla atau madrasah di dukuhnya yang terpencil. Banyak juga yang meminjam untuk modal usaha, dan seperti saya juga (rupanya menurun ciri open mind nya menurun ke saya) Bapak sering tertipu. Meski beberapa kali menjadi korban, Bapak tetap tidak mengubah kebiasaannya.
Tamu datang silih berganti dan anak-anak yang tinggal di rumah semakin banyak. Bagi Bapak, adalah sebuah pantangan menolak permintaan mereka. Dan sudah kewajiban kami menjamu para tamu, meski dengan sederhana. Ibu selalu masak berlebih sebagai cadangan kalau ada tamu. Tanpa pernah lelah, Ibu melayani semuanya di sela waktunya mengurus toko kecil di pasar, sawah, rumah yatim, masjid, sekolah dan beberapa urusan Bapak lainnya. Hampir tak terbayangkan. Betapa beratnya Ibu mengelola penghasilan Bapak dan hasil toko yang tak seberapa itu dapat membiayai 9 anak, beberapa anak lain dan seluruh kebutuhan tersebut.
Subhanallah, rasanya kami tidak pernah kekurangan. Sekarang pun, saat Bapak sudah wafat, kebiasaan itu masih dilanjutkan. Rezeki Allah pun terus mengalir ke Ibu saya untuk diteruskan ke anakanak yatim, masjid dan urusan-urusan lain yang diinisiasi Bapak.
Saya jadi berpikir, bahwa keberuntungan saya sesungguhnya bukan hasil usaha sendiri. Apalagi selama ini saya tidak pernah merencanakan jalan hidup saya, semuanya mengalir begitu saja. Untung berkat keberuntungan hidup saya mengalir ke arah yang baik. Saya hanya mendapatkan capital gain dari investasi Bapak dan Ibu. Kepedulian, kedermawanan dan ke rja keras merekalah yang dicatat Allah untuk menggerakkan keberuntungan bagi kami, anak-anaknya. Waduh, rasanya semakin besar hutang saya kepada Bapak dan Ibu.....entah kapan saya sanggup melunasinya.
Sekali lagi, terbukti bahwa berbagi (zakat dan infak sedekah) adalah jurus andalan mencapai kebahagiaan. Tak hanya mensucikan harta dan jiwa, menambah berkah, mengembangkan harta tapi juga menumbuhkan faktor keberuntungan. Ajaibnya tak hanya faktor keberuntungan untuk si pelaku, tapi justru dapat diwariskan. Coba, adakah kiat yang lebih hebat dari ZIS ? Jadi, jika ingin meningkatkan ”luck factor” anak anda, tunaikan zakat, perbanyak infak sedekah. Mudah bukan?
Langganan:
Postingan (Atom)