27 Januari 2009
Sejak subuh kami sudah di perbatasan Rafah. Pejabat KBRI direncanakan bertemu dengan Palang Merah Palestina untuk penyerahan ambulance tersebut jam 9. Jadi kami harus menunggu, sambil menunggu perbatasan dibuka. Rafah adalah kota kecil, di kiri kanannya yang gersang sesekali terlihat kebun bawang bombay yang kelihatan mengering. Ada juga kebun zaitun yang jarang-jarang. Di tengah-tengah kebun gersang di pinggir Rafah yang berbatasan dengan Gaza, konon menjadi muara ujung terowongan penghubung Gaza dengan dunia luar.
Di perbatasan, bergabung dr Basuki dan 10 dokter BSMI yang sudah sejak sehari sbelumnya menunggu izin di Rafah. Karena belum mendapat izin masuk maka mereka menginap dulu di Arisy yang berjarak 40 km dari Rafah. Perbatasan Rafah hanyalah sebuah tempat dengan pintu gerbang yang dijaga tentara Mesir. Tidak ada bangunan sehingga para pencari izin hanya duduk-duduk menunggu di pinggir jalan tanpa peneduh, atau menunggu di sebuah warung kecil. Ada beberapa ibu berdagang korma dan kacang almond dengan kualitas rendah, mungkin hasil panennya sendiri. Kormanya masih terasa sepat dan kulit almondnya hitam dekil. Beberapa anak mengasong kurma, kacang almond dan kartu telepon perdana. Tanpa penginapan, maka para pencari izin biasanya menginap di Arisy, sebuah kota di pinggir laut mediterania yang menjadi tujuan wisata di musim panas. Di musim dingin seperti sekarang, banyak vila atau penginapan yang kosong sehingga para pencari izin masuk Gaza di Rafah sebagian besar menginap di Arisy.
Tak lama kemudian, juga datang tim Mer-C termasuk Ust Othman Shihab dari Arisy yang bahkan sudah tiga hari bolak-balik Rafah-Arisy menunggu izin untuk masuk Gaza. Kemudian tim Republika (termasuk Mas Naryo dari Dompet Dhuafa) juga bergabung dalam barisan pencari izin. Selain tim Indonesia dan penduduk Mesir dan sekitarnya, banyak tim dari negara-negara lain seperti Turki, Yunani, wartawan Belanda, Mer-C Malaysia, dokter Afrika Selatan dan banyak lagi. Truk-truk bantuan dari Kuwait, Arab Saudi, Mesir dan negara-negara sekitar menumpuk di depan gerbang menambah panjang antrian.
Jam 9 pagi, saat pintu gerbang dibuka, tim KBRI dengan izin diplomatik khusus bisa masuk ke dalam pintu gerbang untuk menemui Palang Merah Palestina dan menyerahkan 4 ambulance yang dibawanya. Tapi kami tim kesehatan & kemanusiaan tidak bisa begitu saja lolos, harus menunggu izin dulu. Meski telah masuk pejabat2 KBRI tak kunjung keluar sehingga kami tidak tahu kabar terakhir tentang permohonan izin tim Indonesia.
Para calon pengunjung Gaza yang sudah mendapat izin berangsur masuk. Juga truk-truk bantuan. Tapi banyak juga truk bantuan yang setelah barangnya diperiksa akhirnya ditolak. Ambulance bawaan KBRI yang didalamnya berisi obat-obatan & peralatan kesehatan milik BSMI bisa masuk, tetapi 4 generator sumbangan dealer ambulance ditolak. Water purifier sumbangan Turki juga ditolak. Menurut informasi barang-barang yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan seperti generator dan water purifier memang termasuk barang terlarang. Bahan pangan pun diseleksi ketat, yang diizinkan hanya susu dan makanan bayi .
Waktu terus berjalan, dan kami terus menunggu. Menurut informasi, hari ini giliran tim kemanusiaan dan tim medis yang diizinkan masuk, sedangkan kemarin khusus untuk pers. Tapi informasi itu bisa setiap saat berubah. Terbukti bahwa pers pun terutama yang dari negara Eropa pagi ini justru masuk. Sedangkan tim medis belum. Jam 12, dokumen saya dan Pak Basit dikembalikan, dan katanya agar dicoba lagi besok. Sedangkan dokumen tim BSMI, Kispa & Mer-C belum ada kabarnya. Saya sudah hampir meninggalkan tempat mencari taksi menuju Arisy. Tapi kemudian saya berubah pikiran dan ingin menunggu di Rafah sampai saat tutup perbatasan yaitu jam 4 sore.
Selepas jam 2 siang, tiba-tiba Haris (mahasiswa Indonesia di Kairo) yang membantu pejabat KBRI tiba-tiba muncul di pintu gerbang sambil membawa setumpuk paspor kami dan menyatakan bahwa kami semua diizinkan masuk. Alhamdulillah. Ini benar-benar pertolongan Allah melalui bantuan pejabat KBRI Pak Danang dan tim. Jadilah kami tiga perempuan Indonesia yang masuk ke Gaza.
Bagi kami ini sungguh hari keberuntungan, karena kami tidak sampai menunggu berhari-hari untuk mendapatkan izin masuk Gaza.
Setelah melewati imigrasi Mesir, dengan bis tua kami (18 orang tim BSMI, BAZNAS & Kispa) dan 11 orang Mer-C dibawa ke imigrasi Palestina. Suasana Rafah bagian Palestina sangat berbeda dengan Rafah Mesir. Taman yang asri terlihat di sekitar kantor imigrasi, pohon-pon kurma menghijau, rumput segar, dan pagar pohon semacam teh-tehan di Indonesia tertata rapi. Kantor imigrasinya sangat sederhana, tapi bersih. Di kantor imigrasi kami disambut oleh Jubir PM Gaza, yang menyampaikan ucapan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran tim kesehatan & kemanusiaan dari Indonesia.
Selanjutnya kami diantar ke Gaza City naik ambulance sumbangan Indonesia. Sepanjang perjalanan Rafah-Gaza City berjarak 40 km, kami disuguhi pemandangan yang menyejukkan mata. Kebun-kebun jeruk lebat dengan buah ranum siap dipanen menghampar sepanjang jalan. Juga kebun sayuran (paprika, tomat, terong) ditanam rapi di atas tanah bertutup plastik dan kebun zaitun yang menghijau. Sesekali melintas kereta himar (keledai) mengangkut hasil panen. Anak-anak sekolah dengan seragam sekolah paling keren yang pernah saya lihat yaitu blus bergaris biru dan celana jins biru, atau setelan jins (rok/celana dan jaket) biru berjalan santai pulang sekolah. Keadaan begitu tenang tak menyiratkan kengerian atau kecemasan perang seperti terlihat di televisi.
Pemandangan mengenaskan mulai terlihat saat mendekat ke Gaza City. Bekas serangan bom terlihat di kiri kanan jalan. Bangunan yang hancur, ladang yang porak-poranda dan puing-puing berserakan menunju uakkan bahwa kota ini telah terkoyak keindahan dan ketenangannya.
Lewat jam 5 sore kami sampai di RS Asy Shifa di Gaza City, tempat tim Indonesia diinapkan. Hal lain yang sangat berkesan bagi saya adalah sambutan tuan rumah yang begitu hangat. Bagi orang Palestina, menyambut tamu adalah kewajiban yang utama. Kami diterima oleh direktur RS dan pejabat penghubung Mr. Umar Ja’far. Tim dokter dari BSMI dan Mer-C akan bergabung dengan dokter dari negara lain (Yordania, Turki, Afsel) ditugaskan ke RS Asy Shifa atau RS lain di sekitar Gaza City. Sedangkan tim kemanusiaan akan diantar langsung mengunjungi lokasi bencana untuk menentukan jenis bantuan dan penerima bantuan yang tepat.
Malam ini tim Indonesia yang pria diinapkan di mess dokter di belakang RS Asy Shifa, sedangkan kami yang wanita (saya, dr Prita & dr Nur) diinapkan di kamar pasien RS Ibu & Anak Asy Shifa.
RS Asy Shifa adalah rumah sakit terbesar di Gaza City. Ribuan pasien berobat setiap harinya. Di RS Asy Shifa saat ini tim dokter dari seluruh dunia berkumpul. Dari Afrika Selatan ada 25 orang, Malaysia 10 orang, belum termasuk dokter Yordania, Turki dan negara-negara lain. Fasilitas kesehatan cukup lengkap meskipun sangat sederhana. RSIA Asy Shifa tempat kami menginap, fasilitasnya jauh lebih sederhana dibandingkan RS lain.. Bangunannyanya tua seperti RS jaman perang dengan ranjang besi tua dan seprai dan selimut usang. Belum lagi lampu-lampu yang mati dan saluran air yang mampet, membuat RSIA ini terlihat sangat menyedihkan. Ada beberapa selimut baru yang kelihatannya sumbangan dari tim medis yang datang sebelum kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar