Minggu, 01 Februari 2009

6 - Lima hari berbagi Kasih di bumi jihad Gaza : Catatan Perjalanan BAZNAS ke Gaza-Palestina

29 Januari 2009

Hari kedua di Gaza. Suhu udara lebih dingin dari hari sebelumnya. Dengan fasilitas kamar mandi seadanya, kami terbiasa untuk mandi sehari sekali. Untunglah di udara dingin ini tidak ada keringat yang keluar, sehingga saat tidak mandi kami cukup mengelap badan menggunakan tissue basah.


Pagi ini kami diantar Kholid Yassin, imam masjid Abbas untuk berkunjung ke Darul Qur’an wassunnah (DQS), pusat hafidzul Qur’an terbesar di Gaza. Kami disambut dengan hangat oleh direktur DQS Syekh Hamdi Madukh, Madrasah tahfidzul Qur’an wassunnah berdiri sejak tahun 1993, mempunyai 7 cabang di beberapa wilayah Gaza. Saat ini jumlah muridnya 12.000 orang laki-laki dan perempuan. Madrasah ini berhasil mencetak hafidz/hafidzoh hanya dalam waktu 2 bulan ditambah 1 bulan untuk penyempurnaan. DSQ menerima murid dari segala usia, terbayak umur 10-12 tahun. Pendidikan berbiaya USD 100 per orang ini diberikan secara gratis, dalam dua shift yaitu pagi jam 9-12 dan sore jam 4-8 malam. Dana operasional berasal dari lembaga dan donatur dalam serta luar negeri. Saat ini alumni DSQ mencapai 7.000 orang, target tahun 2009 mengeluarkan 10.000 hafidh dan 30.000 orang khatam Al Qur’an (program tialawah) Ada 50 anak yg menjadi syahid.selama serangan Israel dlm 20 hari ini. Guru hafidz 1200 orang, dimana seorang guru membimbing 10-12 orang. Metode hafalan dilakukan dengan mengulang hafalan setiap hari selama 2-3 jam, dan hafalan dimulai dari juz Amma, baru dlanjutkan ke juz berikutnya.


Fasilitas DQS sangatlah lengkap dan rapi sehingga kegiatan menghafal Qur’an menjadi saat yang menyenangkan seperti anak-anak mengikuti les atau mata pelajaran lanilla. Kami bertemu dengan Abdurrahman ar raquut, 8 tahun yang telah mampu menghafal 7 juz dengan sempurna. Kegiatan menghafal Qur’an sangat marak di Gaza, dan terlihat dari jumlah halaqah yaitu lebih dari 1000 halaqah tahfidzul Qur’an. Melihat maraknya kegiatan menghafal Qur’an tak heran jika semangat rakyat Gaza tak pernah hilang untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Dan mendengar mereka membaca ayat-ayat jihad berulang-ulang, rasanya wajar kalau mereka selalu merindukan gelar syuhada.


BAZNAS memberikan sumbangan sebesar 5.000 Euro untuk mendukung operasional DQS. Sedangkan Kispa memberikan USD 10.000 untuk guru-guru DQS dan USD 7.000 untuk anak-anak penghafal Qur’an di 7 cabang.


Jam 12 siang, kami kembali ke RS Asy Shifa untuk dijemput pejabat UCLA. Saat saya dan pak Basit duduk di depan gerbang RS, datang seorang laki-laki sekitar 25 tahun menghampiri kami. Saya tidak terlalu memperhatikan laki-laki itu karena perhatian saya sedang tertuju lepada rombongan siswi SMP yang akan menjenguk temannya di RS. Laki-laki itu bertanya dari mana kami, apa yang kami kerjakan di sini dan sebagainya sebagaimana pertanyaan warga Gaza lain saat menjumpai kami. Tapi kemudian dia berbicara dengan nada tidak ramah dan cepat dan langsung berlalu dari depan kami. Saya Belem sempat bertanya ke Pak Basit tentang perkataannya, karena jemputan sudah datang. Kami langsung berangkat dan lupa tentang kejadian itu.


Siang ini kami akan memberikan bantuan ke UCLA. BAZNAS memberikan bantuan 10.000 Euro dan KISPA memberikan USD 10.000. Bantuan diterima langsung oleh Dr. Yahya R. Sharraj, rektor UCLA. Estela menyerahkan bantuan kami diantar melihat kerusakan bangunan, dan lapangan tempat pululan tank berjajar rapi asyik menembaki bangunan tujuh hari berturut-turut berselang-seling dengan tembakan roket dari udara.


Sore, kami kembali ke DQS untuk diantar mengunjungi cabang-cabangnya yang lain. Cabang pertama adalah DQS di Jabaliyah, darul Qur’an yang terbesar di wilayah Gaza utara. Gedung DQS setinggi 8 lantai di tengah perkampungan padat penduduk ini tak luput dari agresi Israel. 2 lantai teratas hancur. Tapi seperti lembaga lainnya di Gaza, kerusakan itu tak mengusik kegiatan menghafal Qur’an di lantai-lantai di bawahnya. Hancurnya DSQ ini semakin menguatkan kesan bahwa Israel benar-benar tepat dalam membidik sasaran, terbukti hanya bangunan DSQ yang runtuh, tak mengusik perkampungan di sekitarnya.


Di DSQ Jabaliyah, kami bertemu dan sempat diwawancara oleh TV Al Aqsa. Mereka heran mengana orang-orang Indonesia jauh-jauh datang ke Gaza, dan apakah tidak khawatir terhadap agresi yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Di Jabaliyah juga, kami bertemu seorang bapak yang mengiba-iba meminta bantuan karena rumahnya rusak terkena pecahan roket.


Jabaliyah yang hanya berjarak 1,5 km dari perbatasan Israel memang daerah yang paling sering mendapat serangan. Dari gedung DQS bahkan terlihat perbatasan Israel dan bukit-bukit hijau tempat para mujahid bertempur.

Sepanjang jalan terlihat toko yang mensual lampu dan kompor minyak tanah. Listrik menjadi barang langka di kota ini. Sehingga ketika kami lewat di jabaliyah selepas maghrib, jalanan begitu gelap dan sepi. Kota diliputi kegelapan dengan sedikit sinar lampu menyeruak dari jendela rumah-rumah. Sebagian besar penduduk jabaliyah hádala pengungsi yang terusir dari wilayah yang kini diduduki Israel Di Jabaliyah, kami baru merasakan aroma perang, dan kecemasan karena sewaktu-waktu bisa terjadi serangan mendadak.


Jam 7.30 kami mengunjungi DQS Az Zaitun di Sabrán yang berpusat di masjid Abul Azzam. Meski sekelilingnya gelap, malam itu kegiatan DQS Az Zaitun sangat semarak dengan lantunan hafalan Qur’an dari berbagai jenis usia. Lantunan indah menggetarkan hati membuat kami merasa seolah-olah kami tidak memerlukan apa-apa lagi selain kecintaanNya.


Jam 9 malam, diantar staff DQS kami mencari makan malam. Bapak-bapak sudah kangen nasi jadi harus cari restoran yang ada menú nasinya. Dengan semangat mereka memesan, tapi sekali lagi kami terhenyak melihat porsinya yang sangat jumbo : nasi kebuli dengan setengah paha kambing melintang di setiap piring. Setelah bersusah payah menghabiskan dan ternyata tidak habis juga, nasi itu dibungkuslah untuk sarapan.


Balik ke RS Asy Shifa, saya disambut dr Nur Farhana dengan berita mengagetkan. Dr Prita dan dr Basuki secara mendadak harus kembali ke Kairo karena satu urusan penting. Dan jika keluar Rafah, artinya kemungkinan untuk kembali ke Gaza sangat kecil, karena harus mengurus perizinan kembali. Sejak sore ternyata dr Nur yang sendirian di kamar sangat khawatir karena mendengar suara rentetan tembakan di sekitar RS. Saya yang berada di luar justru tidak mendengar bunyi tembakan, mungkin karena saat itu sedang di Shabran larut mendengar hafalan Al Qur’an. Saya baru sadar suasana agak memanas setelah menerima sms yang bertubi-tubi dari Indonesia yang menanyakan kabar kami setelah mendengar berita dari televisi ada serangan di Gaza.

Malam itu saya tidur dengan gelisah, karena seharian ini kami mengunjungi lokasi-lokasi yang selama ini menjadi target penghancuran. Saya khawatir jika kegiatan kami sudah ditandai dan akan mempersulit izin kami untuk keluar Gaza. Karena saat ini yang dikhawatirkan rakyat Gaza bukan serangan terbuka, tapi jusru mata-mata di dalam. Dinding pun bertelinga, begitu kata mereka.

Tidak ada komentar: