30 Januari 2009
Jum’at adalah hari libur di Gaza. RS sangat sepi. Kota terasa sangat lengang. Tidak ada penduduk yang berlalu lalang. Saya yang seharusnya mengunjungi beberapa lokasi lagi : rumah keluarga syuhada, masjid-masjid yang rusak dan anak-anak yatim disarankan oleh staf RS untuk tidak keluar kompleks RS Asy Shifa. Menurut mereka RS Asy Shifa saat ini adalah tempat paling aman di Gaza.
Suasana terasa mencekam. Akhirnya kami memutuskan untuk segera menuntaskan amanah dan besok pagi harus keluar Gaza. Kemarin sebenarnya kami dijadwalkan untuk ketemu Menkes untuk menyerahkan bantuan untuk obat-obatan, peralatan medis dan fasilitas kesehatan lainnya terutama untuk korban agresi. Tetapi rupanya Menkes tidak datang sehingga penyerahan bantuan tertunda. Karena itu pagi ini kami berupaya menghubungi direktur RS Asy Shifa. Meskipun hari libur rupanya beliau sibuk sehingga hanya tersedia waktu 30 menit sebelum Jum’at untuk ketemu beliau. Alhamdulillah, BAZNAS menyerahkan 35.000 euro untuk perbaikan fasilitas di RSIA Asy Shifa dan biaya pengobatan korban agresi Israel dan KISPA menyerahkan bantuan sebesar USD 56.000.
Sebelum penyerahan bantuan, ada satu hal kecil yang membuat saya agak kaget. Saat penjaga keamanan RSIA Asy Shifa tempat saya menginap mengantarkan kami ke ruang dr Hassan, tiba-tiba dia menanyakan ke pak Basit : Anda kemarin ke Darul Qur’an?. Kami heran kok dia bisa tahu, padahal dia hanya penjaga RSIA dan kami pergi jauh keluar dari RS.
Bapak-bapak (Ust Ferry Nur, Pak Muhendri dan Pak Okvianto dan Pak Basit) berencana sholat Jum’at di masjid Darul Qur’an. Ust Ferry akan memberikan ceramah setelah sholat Jum’at. Saya tidak ikut, karena tradisi di Gaza tidak mengizinkan perempuan ke masjid. Dari beberapa masjid yang kami kunjungi, hanya masjid Abbas yang menyediakan tempat untuk perempuan, itupun sepi. Setelah menghadiri jamuan makan siang di rumah imam masjid, Bapak-bapak mengunjungi dua cabang Sekolah Tahfidzul Qur’an Darul Qur’an wassunah yang lain yaitu di masjid Ahmad Yassin dan di Sekolah Pemuda & Olahraga, yang merupakan satu-satunya cabang Darul Qur’an di luar masjid. Di sana kami memberikan bantuan untuk anak-anak yatim penghafal Al Qur’an.
Selepas sholat Jum’at ada demo besar di kantor Mahkamah Syariah Gaza yang hancur. Bapak-bapak tak ketinggalan ikut berdemo bersama rakyat Gaza lainnya. Suara sirene dan ambulance meraung-raung. Saya yang menunggu di RS hanya bisa menebak-nebak apa yang terjadi di luar kompleks RS Asy Shifa. Ya Allah, lindungilah kami, lindungilah warga Gaza. Selamatkan mereka dan berikan mereka tanah yang menjadi haknya.
Setelah mengikuti demo, bapak-bapak anggota tim BAZNAS dan KISPA berziarah ke makam para syuhada termasuk makam Syekh Ahmad Yassin yang dilanjutkan dengan mengunjungi keluarga para syuhada. Kami pun menyalurkan bantuan kepada mereka.
Ba’da maghrib kami ke masjid Abbas, yang terletak di Jl Omar Muchtar, jalan utama kota Gaza. Masjid Abbas terletak persis di samping kanan kantor kepolisian Gaza yang luluh lantak akibat bom. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa Israel seringkali hanya mengincar target-target tertentu. Syekh Alauddin Yassin, ustadz masjid, membantu kami bertemu dengan anak-anak yatim korban agresi di masjid Abbas tersebut. BAZNAS menyerahkan bantuan 2.500 euro kepada mereka.
Kami diundang makan malam di rumah Syekh Alauddin Yassin, di hayu Ramal yang berjarak sekitar 500 m dari masjid Abbas. Saya agak was-was berjalan diantara rombongan pemuda Palestina di jalan-jalan gelap. Meski tak segelap dan selengang Jabaliyah, jalanan di Gaza minim penerangan. Cahaya listrik hanya terlihat dari perumahan atau toko. Pertokoan buka sampai jam 9 malam. Dua hari terakhir ini saya agak paranoid terhadap serangan mendadak ketika berada di tengah kerumunan pemuda Palestina. Bayangan saya, di ujung-ujung jalan gelap itu sudah menunggu sniper.
Keinginan kami untuk segera keluar Gaza semakin kuat ketika pak basit menceritakan bahwa pemuda yang menjumpai kami di gerbang RS kemarin ternyata mata-mata. Dia mengancam akan menangkap kami kalau kami keluar kompleks RS. Ketika ancaman tersebut disampaikan ke pengurus masjid Abbas, mereka meminta identifikasi lebih detil tentang si pemuda untuk dicari lebih lanjut. Waduh......ngeri.
Jamuan makan malamnya sangat enak. Roti is dengan cacahan ayam & tuna bersaus thousand island ditambah pizza buatan sendiri dengan topping tomat & paprika. Yang mengejutkan ada sambal dabu-dabu dan sambal tomat segar yang disajikan diatas cobek kayu mirip di restoran Sunda.. Menu ini berbeda dengan jamuan makan siang yang diadakan imam masjid Darul Qur’an tadi siang yaitu nasi kebuli dengan seekor ayam utuh untuk setiap orang. Waduh !
Kami juga diundang mengunjungi Syekh Amin Makany, seorang sufi sepuh yang tinggal tidak jauh dari rumah Syekh Alauddin Yassin. Beliau mendengar kedatangan tim Indonesia dan ingin bertemu, tapi karena lumpuh kami yang akhirnya berkunjung ke rumahnya. Beliau sangat gembira dikunjungii sampai menangis terharu. Rumahnya sangat sederhana, meskipun keempat putranya sukses menjadi dokter, insinyur dll dan beliau memang ingin zuhud. Seluruh tim didoakan beliau sambil menangis. Insya Allah, Allah mengabulkan doa orang suci tersebut.
Jam 9 malam, kami diantar mengunjungi masjid Omar Kabir. Masjid ini adalah masjid terbesar di Gaza, yang letaknya sangat tersembunyi, berada diantara toko-toko di pasar yang padat. Perjalanan ke sana benar-benar mencemaskan. Hanya dua mobil kami yang melintas di jalanan lengang dan gelap. Saat mobil kami berhenti di pojok jalan yang sangat gelap, saya benar-benar khawatir. Beberapa pemuda berjas / jaket hitam langsung mengerumuni mobil kami. Tim turun dari mobil dan mengetuk sebuah pintu tua. Setelah menunggu beberapa saat, pintu dibuka dan rombongan diantar masuk menuruni tangga dengan penerangan cahaya telepon genggam.
Saya yang tidak tahu bahwa itu pintu masjid (di atas pintu tidak ada tulisan apapun), bahkan hampir menolak turun, dan ingin menunggu di mobil. Sekali lagi paranoid saya kambuh, khawatir itu adalah tempat pertemuan kelompok mereka dan di langit ada mata-mata yang mengincar dari udara. Di sisi lain menunggu di dalam mobil pun saya lebih takut lagi, karena lorongnya begitu gelap dan sepi. Apalagi mendengar adanya penculikan-penculikan yang masih sering terjadi.
Setelah mereka mengajak bergabung dan meyakinkan bahwa di dalam sangat aman, saya pun ikut turun. Begitu kami sampai di dalam, generatornya dinyalakan. Dan ternyata, SUBHANALLAH! Ini adalah masjid yang sangat indah dan besar.
Masjid Omar Kabir, sudah menjadi tempat peribadatan sejak 500 tahun sebelum Masehi. Ketika Kristen menguasai Gaza, tempat itu diubah menjadi gereja kecil. Saat khalifah Umar bin Khattab masuk Gaza, pertama kali beliau berniat sholat di situ. Pendeta menawarkan kepada khalifah Umar untuk sholat di gereja itu. Tapi beliau menolak dan sholat di samping gereja. Kemudian oleh khalifah Umar gereja kecil itu diubah menjadi masjid dan kaum Kristen diberi tempat untuk membangun gereja lagi tak jauh dari masjid tersebut. Seiring berkembangnya Islam, masjid Omar bin Khattab terus diperbesar sehingga disebut Omar Kabir. Saat perang dunia kedua, masjid dihancurkan Inggris karena dianggap sebagai tempat penyimpanan senjata dan dicurigai di dalam masjid terdapat terowongan persembunyian tentara Turki. Tetapi menurut imam masjid, yang masih famili dari Ismail Haniyya, terowongan itu sesungguhnya saluran air dan sekarang pun sudah ditutup karena tidak berfungsi.
Saat ini masjid Omar Kabir sedang diperluas dan direnovasi. Tetapi karena larangan pengiriman bahan bangunan dari luar Gaza, renovasi terbengkalai. Meski belum selesai, semua aktivitas penting rakyat Gaza dilakukan di masjid itu. Para syuhada, termasuk Ahmad Yassin disholatkan di masjid Omar Kabir. PM Ismail Haniyya juga sering berdoa di masjid ini. Kegiatan hafidzul Qur’an tak pernah sepi dilakukan di masjid ini. Mereka hanya berdoa semoga Allah melindungi masjid indah dan bersejarah yang menjadi simbol rakyat Gaza ini dijaga dan dilindungi Allah dari kehancuran. Hasbunallah wa nikmal wakiil, begitu doa rutin mereka.
Jam 11 malam kami diantar ke RS Asy Shifa. Saya khawatir gerbang RSIA sudah ditutup, karena kalau tutup, saya tidak tahu harus bermalam di mana. Tapi alhamdlillah malam itu ada pasien yang datang mau melahirkan sehingga pintu masih dibuka. Malam itu paranoid saya kambuh lagi, ketika tengah malam pintu kamar digedor petugas yang melakukan pengecekan. Saat saya buka mereka menanyakan siapa saya, darimana, berapa orang di kamar dan sebagainya. Ketika saya katakan kami berdua, mereka ingin melongok ke dalam kamar dan menanyakan siapa yang satu lagi. Dr Nur yang sudah hampir terlelap dan rapat tertutup selimut (karena udara sangat dingin) pun kaget dan terbangun.
Saya benar-benar khawatir, sepak terjang saya yang keluyuran ke pelosok-pelosok Gaza sudah terekam petugas. Masalahnya bahkan orang Gaza pun sulit menentukan apakah orang-orang sekitar itu kawan atau bukan? Dr. Nur juga sangat khawatir. Kabar bahwa ada tiga orang dokter RS Asy Shifa yang terbunuh dan bahkan para dokter itu sebagian tidak berani mengendarai mobil ke RS karena mobilnya sudah ditandai membuat kami tak bisa menikmati tidur malam itu. Alhamdulillah, malam itu tak terjadi apa-apa. Allah menjaga kami. Hasbunallah wa nikmal wakiil, saya mengikuti doa orang-orang Gaza.